Senin, 24 Januari 2011

Roda Memang Terus Berputar (Perjuangan Orang Miskin Untuk Menikah)

Mentari terlihat lelah sore itu, warnanya tak lagi kuning menyala namun telah berganti jingga keemasan. Ali terduduk membisu disudut kendaraan angkutan umum jurusan Margahayu Raya – Ledeng, sambil menatap lalu lalang manusia, motor dan mobil saling berkejaran dibelakang angkot yang ditumpanginya.

Diperempatan Cipaganti sopir menghentikan angkot karena lampu merah, tiba – tiba ia mendengar lagu “Munajat Cinta” dinyanyikan oleh pengamen jalanan yang masih belia :

“Malam ini ku sendiri … tak ada yang menemani

Seperti malam – malam yang sudah – sudah

Hati ini selalu sepi ... tak ada yang menghiasi

Seperti cinta ini yang selalu pupus”

Lirik lagu itu serasa menghujam hati Ali dengan keras, ia pun lalu berbisik,”gila yang bikin lagu ini, lagunya gue banget !”.

Tanpa dikomando, bibirnya lalu bergumam mengikuti reffrain kelanjutan lagu yang dinyanyikan sang pengamen,”Tuhan kirimkanlah aku kekasih yang baik hati ... yang mencintai aku apa adanya”. Ali menghirup nafas dalam – dalam lalu melepaskannya perlahan,”Ya Allah, kapan ya aku bisa bertemu dengan seorang wanita yang bisa menerimaku apa adanya ?”, keluhnya dalam hati.

***

Ali terdiam dan tertunduk lesu disudut kamarnya yang sempit, ia menoleh potret kedua orang tuanya yang sangat disayanginya. “Pa ... Bu, maafkan anakmu ini ya, yang belum bisa menjawab pertanyaan kalian dan belum bisa memenuhi keinginan kalian”, katanya dengan mata berkaca – kaca.

Ayah Ali seorang guru SD disebuah kecamatan terpencil di Sukabumi, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Tiap pulang mudik saat lebaran, mereka kerap bertanya pada Ali dengan pertanyaan dan keinginan yang sama.”nak, kapan kamu akan menikah ?” dan “ibu ingin segera menimang cucu”.

Niat untuk menikah sudah ada dihati Ali, namun entah mengapa selalu ada saja hal yang menggagalkan rencananya tersebut. Ali masih menyimpan trauma pada taarufnya bersama seorang adik teman sepekerjaannya.

Direstoran seafood tempat Ali bekerja, ia dikenal sebagai pemuda soleh dan baik hati. Tiap waktu shalat tiba, ia selalu jadi orang pertama yang ada di mushalla untuk mendirikan shalat wajib. Bacaan ayat qurannya yang fasih membuatnya sering diminta menjadi imam jika shalat berjamaah. Ali pun sering dianggap sebagai karyawan yang rajin. Jika pekerjaannya telah beres, ia sering membantu temannya yang masih sibuk walaupun beda divisi.

Kesolehan dan kebaikannya itulah yang membuat Pak Firman, seorang koki direstoran tersebut berminat mengenalkan Ali pada adik perempuannya. Awalnya Ali merasa minder dengan ajakan teman kerjanya itu.”apakah tidak malu Bapak mengenalkan adiknya pada seorang tukang cuci piring seperti saya ?”, tanya Ali. “tidak. Justru Bapak senang jika kamu bisa menjadi adik iparku nanti”, balas Pak Firman sambil tersenyum.

Pak Firman lalu menceritakan sedikit profil tentang adik perempuannya yang kini berusia 24 tahun dan bekerja disebuah pusat perbelanjaan sebagai pramuniaga toko baju muslim dan perlengkapan haji. Pak Firman pun lalu memperlihatkan sebuah foto ukuran dompet atau 2R bergambar potret adiknya tersebut pada Ali. Tangan Ali terasa bergetar saat menerima foto tersebut lalu dilihatnya dengan cermat. Subhanallah, wanita berjilbab panjang dengan kacamata minus serta bertahi lalat dipipi kiri itu terlihat anggun sekali dimata Ali. Ia seolah tidak percaya Pak Firman mau mengenalkan adik perempuannya itu kepadanya.

“lihat fotonya sudah, mau lihat aslinya, tidak ?”, tanya Pak Firman.

Ali tersipu malu lalu membalas,”iya Pak”.

“Ok. Nanti jika adik saya libur kerja, saya ajak kamu kerumah untuk berkenalan dengannya”, seru Pak Firman penuh semangat.

Hari perkenalan itupun tiba. Pak Firman sengaja menjemput Ali dengan motor sportnya dan mereka pun segera berangkat menuju kawasan Riung Bandung. Di depan sebuah rumah yang agak besar bercat putih, Pak Firman menghentikan motornya lalu menyuruh Ali turun dan membuka pintu pagar rumah tersebut. Sejenak Ali terkagum – kagum melihat rumah asri nan sejuk dipandangan mata tersebut. Ia tak menyangka Pak Firman dan keluarganya tinggal dirumah sebagus itu.

Ali duduk dikursi kayu jati panjang berwarna cokelat tua, ia memperhatikan satu persatu foto yang ada diruang tamu. Dari deretan foto – foto tersebut ia berkesimpulan bahwa keluarga Pak Firman adalah keluarga besar yang harmonis. Tiba – tiba datanglah Pak Firman bersama seorang lelaki berbadan tinggi besar yang usianya mungkin lebih tua 5 tahun dari usia ayah Ali.

Setelah mengucapkan salam dan berjabat tangan, mereka bertiga pun mulai berbincang tentang rencana Pak Firman mengenalkan adiknya pada Ali. Lelaki tua tersebut rupanya ayah Pak Firman yang bernama lengkap Dedi Setiadi. Aneh, Ali merasakan hawa kurang mengenakkan dihatinya saat Pak Dedi menatap dirinya dengan tajam.

Ia lalu bertanya,”nak Ali ini teman kerja Firman direstoran, ya ?”.

“Benar Pak”, jawab Ali pendek.

“Bagian apa ?”, tanyanya lagi.

“Dishwasher Pak”, jawab Ali dengan gugup.

Pak Dedi terlihat kebingungan, ia mengernyitkan dahinya lalu bertanya lagi karena penasaran,”Dishwasher itu lebih jelasnya bagian apa ?”.

“Tukang cuci piring Pak”, jawab Ali pelan.

“oh begitu. Bapak kira kamu itu sama – sama koki seperti Firman atau waiter”, kata Pak Dedi .

Tiba – tiba datanglah seorang perempuan muda berjilbab biru membawakan 3 gelas teh hangat dan beberapa toples kue kering kehadapan mereka bertiga. Setelah diperhatikan, Ali baru menyadari bahwa wanita itu adalah adik perempuan Pak Firman yang hendak dikenalkan padanya. Pak Dedi lalu menyuruh anak perempuannya tersebut duduk disampingnya. Detak jantung Ali jadi berdegup lebih kencang dan keringat dingin mulai menjalari tubuhnya saat ia menatap wajah adik Pak Firman.

“ini anak perempuan bapak satu – satunya, namanya Rina Kusuma Wardhani. Sekarang ia kerja di toko perlengkapan haji di ABC Mall”,kata Pak Dedi. Ia pun lalu bercerita tentang keadaan keluarganya. Rupanya Pak Dedi adalah seorang pensiunan PNS dan istrinya telah wafat 3 tahun yang lalu. Ia hanya memiliki 2 anak yaitu Pak Firman dan Rina.

“nak Ali sebelum kerja direstoran, pernah kerja dimana saja ?”, Tanya Pak Dedi lagi.

“saya pernah kerja jadi Office Boy disebuah perusahaan distributor barang elektronik dan jadi seorang Cleaning Service di Pesantren Daarut Tauhid di kawasan Gegerkalong”, jawab Ali mantap.

“oh begitu”, kata Pak Dedi dengan ekspresi kecewa.

Ia lalu menoleh pada Pak Firman lalu bertanya padanya,”Fir, kamu ngga salah ingin mengenalkan Ali pada adikmu ?”.

Ali kaget mendengar ucapan tersebut, tubuhnya bergetar dan nafasnya terhenti sejenak. Ia serasa terkena petir disiang bolong.

“astagfirullahaladzim.memangnya salah kenapa, Pak ?”,Tanya Pak Firman pada ayahnya.

“ayah kira kamu membawa temanmu yang pekerjaannya setidaknya selevel dengan kamu, sebagai koki atau supervisor restoran.ini hanya tukang cuci piring !”, kata Pak Dedi dengan nada tinggi.

Mata Ali jadi berkaca – kaca mendengar ucapan itu. Ia tak kuasa membela diri dengan kata – kata.

Pak Firman lalu membalas,”Pak, memang Ali hanya tukang cuci piring, namun ia lelaki yang soleh dan baik. Lelaki seperti itu jarang ada dikota ini. Saya percaya ia bisa jadi imam yang baik buat Rina”.

“hah … imam yang baik ? memangnya si Rina bisa diberi makan ayat quran dan hadits ? bapak tahu gaji kamu berapa Fir sebagai koki, apalagi gaji Ali yang hanya sebagai tukang cuci piring”, seru Pak Dedi.

“Pak, kok tega sih berbicara seperti itu dihadapan Ali ? biarpun ia tukang cuci piring, insya allah rezekinya halal dan berkah. bisa saja dikemudian hari ia mendapat pekerjaan yang lebih baik dan gajinya lebih besar. Ingat Pak, hidup manusia itu sering bergiliran kadang diatas dan kadang dibawah”, balas Pak Firman.

“nggak mungkin Fir. Kamu dengar sendiri kan tadi Ali bilang ia pernah kerja sebagai Office Boy alias pesuruh dan Cleaning Service alias petugas kebersihan. Sekarang ia kerja jadi tukang cuci piring, artinya dimasa depan pun pasti ia akan dapat kerjaannya nggak jauh beda dari itu. Masih level bawah lah”, kata Pak Dedi dengan ketus.

“Tapi Pak, coba tanya dulu Rina. Kemarin ia berkata pada saya siap menerima Ali apapun keadaannya”, kata Pak Firman.

Ayah pak Firman lalu bertanya pada Rina, apakah ia mau menerima Ali yang pekerjaannya sebagai tukang cuci piring. Rina pun menunduk dan menganggukkan kepalanya pertanda setuju.

Pak Dedi kaget bukan kepalang melihat tingkah Rina seperti itu, matanya melotot dan wajahnya memerah seperti memendam amarah.

Karena gengsi dan tidak mau terlihat kalah serta malu dihadapan Ali dan Pak Firman, tiba – tiba ia bertanya pada Ali,”kamu punya motor,tidak ?”, tanyanya dengan tegas.

“Tidak Pak”, jawab Ali pelan.

“kamu bisa naik motor ?”,tanyanya lagi.

“Tidak Pak”, jawabnya lagi sambil tertunduk lesu.

“hah … kamu ga bisa naik motor ? Di Bandung sekarang sering macet, tiap hari Bapak mengantarkan Rina ke tempat kerjanya, capek sekali. Bapak ingin punya menantu yang punya motor agar bisa menggantikan peran Bapak yang setiap hari antar jemput Rina. Nak Ali kembalilah kesini kalau sudah punya motor !”, kata Pak Dedi dengan nada meninggi.

“Maaf Pak. Saat ini saya masih memiliki trauma pada motor. Dulu waktu kecil pernah melihat orang kecelakaan tepat dihadapan saya, motornya hancur dan pengendaranya tewas seketika. Sampai saat ini saya enggan belajar mengendarai motor dan belum memiliki motor karena terbayang terus trauma itu”, kata Ali.

Sejenak suasana menjadi hening dan sunyi. Semuanya terdiam dikursinya masing - masing.

“kalau begitu keadaannya, apa boleh buat. Nak Ali lupakan saja niat berkenalan dengan Rina, karena saya yakin diluar sana masih banyak lelaki yang lebih baik untuknya”, kata Pak Dedi.

“Baiklah Pak. Saya menerima keputusan bapak, jika itu memang pilihan yang terbaik untuk Rina. Saya do’akan semoga Rina bisa mendapatkan lelaki yang baik, terutama lelaki yang sesuai dengan keinginan Bapak”, balas Ali mencoba tegar.

Tiba – tiba Rina beranjak dari tempat duduknya sambil berurai air mata, ia berkata pada ayahnya,”Rina tidak menyangka ternyata ayah bisa sekejam itu pada kang Ali”. Ia pun berlari menuju kamarnya.

Melihat situasi yang sudah tidak kondusif untuk melanjutkan pembicaraan, Ali pun pamit pulang pada Pak Firman dan ayahnya. Saat akan meninggalkan pintu gerbang rumah, Pak Firman memanggilnya supaya menghentikan langkahnya. Dengan nafas terengah – engah, beliau meminta maaf pada Ali atas tindakan ayahnya tadi. Ia merasa malu telah mengundang Ali ke rumahnya dan bukannya keramahan yang didapatkan, malah caci maki pedas dari Pak Dedi.

Ali tersenyum sembari berkata,”tidak apa – apa Pak Firman. Wajar jika ayah anda memiliki keinginan seperti itu. Kejadian ini saya ambil hikmahnya saja. Tolong sampaikan salam saya pada Bapak anda, berkat beliau saya jadi termotivasi untuk belajar mengendarai motor”.

Didalam angkot menuju kostan, Ali merenungi pertemuan di rumah Pak Firman tadi. Begitu banyak pelajaran berharga yang bisa diambil hikmahnya.

“aku pulang ... tanpa dendam
Kuterima kekalahanku ... “

Potongan lirik lagu milik band Sheila on 7 diatas sangat cocok menggambarkan suasana hati Ali saat ini.

***

Jadwal kerja Ali direstoran memang berat. Ia masuk kerja tepat jam 11.00 WIB lalu istirahat pukul 15.00 sampai pukul 18.00 WIB. Ia masuk kerja lagi pukul 18.00 hingga waktu pulang pukul 22.00 WIB. Lamanya waktu istirahat yang mencapai 3 jam membuatnya jenuh jika hanya beristirahat direstoran saja tanpa kegiatan berarti. Untuk membunuh kejenuhannya, ia sering mengisi waktu istirahat dengan browsing di warnet.

Awalnya hanya untuk update status Facebook dan membalas comment serta messages yang masuk di inbox-nya. Namun akhir – akhir ini Ali mulai tertarik membuat tulisan pendek seperti cerpen dan ia pun mempostingnya di notes Facebook serta bergabung disitus blogger.com untuk mempublikasikan tulisan buatannya. Alhamdulillah, tak disangka tulisannya banyak diminati teman – teman Facebooknya. Tiap ia posting tulisan terbaru lalu mentagnya pada teman – temannya, cerpennya selalu kebanjiran komentar, kritik, saran serta sebagian lagi mengklik tanda “like” atau “suka“. Hal ini melecutnya sebagai pribadi yang optimis dan bertekad makin serius memasuki dunia tulis menulis.

***

Setiap menerima gaji di awal bulan, Ali selalu membaginya menjadi 4 bagian. Pertama, ia kirim sebagian uang untuk orang tuanya di Sukabumi. Kedua, untuk dikeluarkan zakat,infak,sedekahnya (ZIS) ke Rumah Zakat Indonesia, sebuah lembaga amil zakat independen dibawah naungan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Ketiga, untuk bayar kostannya serta yang keempat untuk biaya kehidupan sehari – harinya. Meski gaji tidak besar, kedisiplinan mengelola keuangan seperti itu terbukti ampuh mencegah “besar pasak daripada tiang”.

Ahad siang, Ali sudah tiba di Rumah Zakat Indonesia untuk mengeluarkan zakat, infak dan sedekah hasil kerjanya sebulan. Ia langsung disambut seorang akhwat berjilbab panjang yang sopan lalu menyuruhnya duduk dikursi warna hijau. Sudah beberapa kali ia ke tempat itu, namun baru kali ini melihat akhwat tersebut. “mungkin ia karyawan baru di lembaga ini” bisik hati kecilnya.

“assalammu’alaikum “ sapa akhwat tersebut.

“wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh” jawab Ali.

“perkenalkan saya Ira Puspita, karyawan baru disini menggantikan mbak Mila yang sedang cuti hamil. Ada yang bisa dibantu, mas ?” tanyanya dengan ramah.

“saya ingin mengeluarkan ZIS bulan ini” jawabnya dengan pelan.

“namanya siapa, mas ? tanyanya lagi.

“Muhammad Ali Firdaus”

Ira lalu melihat data dikomputernya sebentar lalu berkata,” Muhammad Ali Firdaus tinggal di Jl. Sukasari No.6 Bandung, betul ?”

“benar sekali, mbak”

Ali pun langsung menyerahkan sejumlah nominal uang kepada Ira dan dicatat dikomputer. Setelah itu mereka berdua berdo’a semoga rezeki Ali makin bertambah dan mendapat berkah dari Allah SWT serta semoga harta yang dititipkan bisa menjadi ladang amal dan bermanfaat untuk kemajuan umat islam. Setelah selesai memanjatkan do’a, Ali pun pulang dengan wajah sumringah.

Malam yang semakin larut ternyata belum membuat Ali mengantuk, tiba – tiba bayangan wajah Ira Puspita yang tak lain karyawan lembaga amil zakat berkelebat dipikirannya.
“astagfirullahaladzim, kenapa aku jadi memikirkannya ya ?” tanya Ali pada dirinya sendiri. Ia pun mencoba menghalau hal itu dengan berdzikir hingga tak sadar terlelap tidur.

***

Ali membuka akun Facebooknya dan merasa kaget ada 1 permintaan menjadi teman dan 1 messages. Ia mengkonfirmasi permintaan jadi teman itu dan langsung melihat profil teman barunya tersebut. Namanya Heru Gunawan, berprofesi sebagai penulis, pengajar dan editor. Melihat profilnya yang luar biasa, Ali pun segera membaca messages darinya.

“assalammu’alaikum akhi Ali. Perkenalkan nama saya Heru Gunawan, siang ini sedang browsing di internet dan tak sengaja menemukan blog anda yang unik sekali. Saya terkesan dengan cerpen anda yang berjudul “Ustadz Kupu – Kupu”. Jika ada waktu senggang, harap segera telpon atau sms ke no 089898989898 ada hal yang ingin saya bicarakan. Wassalammu’alaikum”.

Tanpa pikir panjang, Ali langsung menelpon nomor yang tertera pada messages tersebut.

“halo assalammu’alaikum”, Tanya Ali

“wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh. Ini dengan mas Muhammad Ali Firdaus penulis cerpen itu ya ?” kata Heru Gunawan malah balik bertanya.

“iya benar. Ada apa Pak ? kok tiba – tiba menyuruh saya menelpon anda ?”

“hehe … begini mas, saya sudah baca semua cerpen – cerpen anda didalam blog. Setelah saya hitung ada 25 cerpen, saya ingin mengajak anda untuk bekerja sama”.

“maksudnya bekerja sama bagaimana ?” Tanya Ali makin penasaran.

“mas Ali sudah tahu kan kisah tulisan Raditya Dika diblognya yang berjudul “Kambing Jantan” setelah dibukukan ternyata laris manis dipasaran hingga akhirnya difilmkan dan diputar dibioskop. Nah saya ingin bekerja sama untuk membukukan kumpulan cerpen buatan mas Ali, saya yakin tulisannya akan laris dipasaran”

“Ok Pak. Saya siap bekerja sama dengan bapak, sudah lama saya memendam keinginan membukukan kumpulan cerpen – cerpen yang tersimpan diblog”

Setelah pembicaraan ditelpon tersebut, mereka berdua langsung mengadakan pertemuan. Ali bersyukur Allah mempertemukannya dengan Pak Heru Gunawan. Berkat bantuan beliau, cerpen – cerpennya bisa dibukukan dan dijual pada masyarakat luas. Alhamdulillah sambutan masyarakat ternyata positif sekali, mereka sangat antusias menyambut kehadiran buku tersebut hingga dalam kurun waktu 3 bulan sudah mendapat predikat “best seller”. Seiring berjalannya waktu, Ali pun mengundurkan diri dari restoran. Ia memilih untuk fokus di dunia kepenulisan.

***

Hubungan Ali dan Pak Heru Gunawan kian akrab hingga lebih dari sekedar rekan bisnis, mereka sudah seperti sahabat karib. Disuatu sore, Pak Heru mengajaknya silaturahim ke rumahnya sekalian ingin memperkenalkan Ali pada anak perempuannya semata wayang. Awalnya Ali sempat menolak dengan halus karena masih trauma pada pertemuannya dengan Rina, adiknya pak Firman teman kerjanya di restoran. Namun setelah dibujuk untuk kesekian kalinya, hatinya pun luluh dan bersedia menerima tawaran perkenalan tersebut.

Diruang tamu yang lega serta dikelilingi lemari berisi buku tersebut Ali terduduk sambil berharap takdir akan menuntunnnya pada hal baik dalam pertemuan kali ini. Pak Heru datang menemui Ali bersama seorang perempuan muda berjilbab panjang berwarna biru muda. Mereka berdua duduk tepat dikursi yang terletak dihadapan Ali. Ketika menatap wajah perempuan anggun itu, Ali merasa keheranan. Entah kenapa ia merasa pernah bertemu dengan perempuan itu namun lupa pernah bertemu dimana.

“Ali, perkenalkan ini Ira Puspita, anak Bapak satu - satunya” kata Pak Heru Gunawan membuka percakapan.

“Ira Puspita, bukankah itu nama akhwat yang pernah aku temui di lembaga amil zakat dulu ?” bisik hati Ali.

Ia benar – benar kaget ketika mendengar nama itu disebut, ia pun lalu mengangkat kepalanya dan langsung menatap wajah perempuan itu. Tak disangka perempuan itu pun sedang mengarahkan p-andangannya ke wajah Ali. Ketika mereka berdua beradu pandangan, sorot mata keduanya berubah seolah tak percaya bisa bertemu ditempat itu.

“astagfirullahaladzim, ini kan mas Muhammad Ali Firdaus. Iya, kan ? Tanya Ira.

“iya benar. Subhanallah, ternyata mbak Ira ini putrinya Pak Heru ya.” Jawab Ali.

Pak Heru tersenyum melihat tingkah mereka berdua lalu berkata,”Alhamdulillah, ternyata kalian sudah saling mengenal ya ?” Tanya Pak Heru dengan senyum mengembang diwajahnya.

“iya ayah. Mas Ali ini adalah donator tetap di Rumah Zakat Indonesia. Tiap awal bulan selalu menitipkan sebagian rezekinya disana” jawab Ira dengan lancar

“syukurlah kalau begitu. Ayah sengaja mengajak Ali kesini untuk berkenalan denganmu sekaligus ingin menjadikan ia sebagai calon menantu bapak. Bagaimana, kamu setuju ?”

Suasana menjadi hening, sunyi tak ada suara sedikit pun. Ali merasa cemas dan hatinya bergetar tidak karuan. Ia berusaha menenangkan diri namun tidak bisa, ia berharap jawaban dari Ira tidak akan mengecewakannya. Ali dan Pak Heru sama – sama menatap Ira.

Dengan gerakan yang halus, Ira menganggukkan kepalanya dan wajahnya terlihat memerah.
Ali hanya bisa tersenyum melihat kejadian itu dan berkata didalam hatinya,”Alhamdulillah Yaa Allah”.

Pak Heru senang dengan jawaban Ira tersebut, ia lalu berseru,”Alhamdulillah. terima kasih anakku. Bapak percaya Ali bisa menjadi pasangan yang tepat untukmu.

***

Setelah pertemuan itu, Ali memboyong keluarganya dari Sukabumi untuk bersilaturahim ke rumah Pak Heru. Alhamdulillah, acara khitbah pun lancar hingga akhirnya 2 minggu kemudian diadakan acara walimah yang sederhana dihadiri kerabat, teman kerja, teman dunia maya kedua mempelai serta pembaca buku Ali yang ada di Bandung.

Roda kehidupan terus berputar, Kehidupan Ali yang selalu dirundung duka kini berganti dengan cerita penuh suka cita.